Tugas Mata Kuliah HUKUM JAMINAN

,
TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN
DALAM PERKARA KEPAILITAN














Disusun Oleh:
ALIF SAYYIDUL QADR
FAKULTAS HUKUM  UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT. Atas segala petunjuk dan Hidayahnya sehingga penyusunan Tugas Makalah Hukum Jaminan sebagai pengganti Ujian tertulis dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya Perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada, semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga makalah ini dapat  selesai. 
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan sumbangsi Ilmu Pengetahuan kepada masyarakat awam, juga diharapkan dapat bernilai ibadah disisi Allah SWT dan bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan peran dalam kemajuan pendidikan di Indonesia pada umumnya .
Amin Ya Rabbal Alamin……
Billahi Fii Sabilil Haq Fastabiqul Khaerat !!!
                                                                                       Sinjai,          Juni 2010        
                                      
Penulis



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL                                                                                                              i
KATA PENGANTAR                                                                                                           ii
DAFTAR ISI                                                                                                                          iii
BAB  I          PENDAHULUAN                                                                                            1
A.   Latar Belakang                                                                                         2
B.   Permasalahan                                                                                         5
BAB II          PEMBAHASAN                                                                                              6
BAB III         PENUTUP                                                                                                       13
A.   Kesimpulan                                                                                               13
B.   Saran                                                                                                          13
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                           iv                                                                                                        


DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir,                      “Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Lontoh, Rudhy A. (ed.),Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Alumni, Bandung. 2001
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, “Hak Tanggungan”, Rajawali Pers,    Jakarta, 2003
Man S. Sastrawidjaja,     Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni,2006
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Yogyakarta, 2002, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit,
Varia Peradilan: Tahun II No.19, April 1987
Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta 1994
Kartono,  Kepailitan   dan  Pengunduran   Pembayaran,:    Pradnya,        Jakarta 1992
Sudarsono,  Kamus   Hukum    Cetakan   Ketiga,           Rineka Cipta,     Jakarta 2002.
Sudargo Gautama, Komenta r  atas   Peraturan  Kepailtan   Baru   untuk    Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung: 1998                                                 



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan kebendaan antara debitor dan kreditor dengan tujuan menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang debitor kepada kreditor,               betapa tidak adilnya seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut?    Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi.
Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan tersebut? Bila tidak ada cara untuk mempertemukan kepentingan masing-masing, maka dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.   
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar    Kepailitan pada dasarnya merupakan perkara perdata, lebih tepatnya perkara utang-piutang.  Penyelesaiannya pun bisa dilakukan berbagai cara, baik mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga atau diselesaikan di luar pengadilan (alternative dispute resolution), tergantung pilihan dari pihak Kreditor yang merasa haknya dilanggar.
                 Perkara kepailitan mempunyai beberapa kekhususan dibanding dengan perkara perdata biasa. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat dari syarat pengajuannya, pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutusnya, dan jangka waktu penyelesaian perkara tersebut yang berbeda dengan perkara perdata pada umumnya.
Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah si Debitor harus mempunyai dua atau lebih Kreditor, yang mana salah satu utangnya telah jatuh tempo. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang.
Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian., yaitu pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja dan pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang. Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian., yaitu :
1).  Pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja.
2).  Pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara kepailitan akan berkaitan juga dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa jaminan yang bersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata ataupun yang bersifat khusus, seperti Hak Gadai, Hak Jaminan  dan Fidusia.     Menurut prinsip hukum  jaminan, kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak terpengaruh oleh kepailitan.                                                         Hal tersebut berarti Kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Mencermati materi  Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disingkat UUKPKPU) merupakan “lex specialis”  (ketentuan yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan), maka penulis tertarik untuk menelaah aspek yuridisnya dengan mengambil tema :         tinjauan yuridis  undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan “




B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menarik Pokok permasalahan yang  akan dijadikan objek permasalahan dalam makalah ini, yakni sebagai berikut  :
1.    Bagaimana Aspek Yuridis kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 tahun 2004  ?
2.    ApakahKedudukan kreditur tersebut sama seperti dalam perkara perdata biasa dimana kreditor tersebut dapat mengeksekusinya tanpa terpengaruh dengan proses kepailitan?


BAB  II
PEMBAHASAN


Sebelum melangkah lebih jauh maka ada baiknya kita mengenal apa itu penjamin serta apa pula pengertian dari pailit :
Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”.   Pengertian penjamin menurut Rasjin Wiraatmadja seorang advokat senior  mengatakan bahwa:
Penjamin adalah para pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitur.
Penjamin adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh debitur. Penjamin berkewajiban untuk membayar utang debitur kepada kreditur manakala sidebitur lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi debitur atau berkewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan harta benda milik debitur utama atau debitur utama yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun.

Pengertian Pailit dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
dalam Pasal 1 angka (1) adalah:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih krediturnya.”
Pengertian Kepailitan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang, dalam Pasal 1 angka (1) yakni :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukann oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kepailitan adalah keadaan atau kondisi badan Hukum  yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.
Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari
beberapa sarjana antara lain:
1.    Retnowulan menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah eksekusi massal yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.”
2.    Siti Soematri Hartono dalam bukunya “Pengantar Hukum Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa Kepailitan adalah
suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua asas
pokok dalam Hukum Perdata yang tercantumkan dalam Pasal 1131 dan
1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”
3.    Kartono mengemukakan, “Kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan semua debitur-debiturnya bersama-sama, yang pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu.”
4.    Sudarsono dalam kamus Hukum mengatakan istilah pailit, yaitu suatu keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Kepailitan.
Lebih lanjut Sudargo mengatakan bahwa: “Kepailitan pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda daripada sipailit”
Setiap Kreditor pasti mempunyai jaminan jaminan pelunasan utang dari debitor baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Apabila Kreditor tidak meminta jaminan secara khusus ketika melakukan perjanjian utang-piutang dengan Debitor, maka berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata secara otomatis kreditor mempunyai jaminan umum pembayaran utang dari harta benda milik debitor.
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa harta debitor yang ada dan yang akan ada dikemudian hari, baik harta bergerak maupun tidak bergerak akan menjadi jaminan pembayaran utang bagi kreditor meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.
Menurut Prof. Man S. Sastrawidjaja ketentuan tersebut didasarkan kepada asas tanggung jawab, yang mana asas tersebut diperlukan dalam upaya memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan kreditornya.
Berbeda dengan jaminan yang bersifat khusus, pihak kreditor sejak semula telah meminta kepada debitor agar hartanya secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo debitor tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta debitor tersebut dapat dieksekusi oleh kreditor melalui prosedur tertentu.
Dalam perkara kepailitan terdapat tiga tingkatan kreditor, yaitu:
a. Kreditor separatis, , yaitu Kreditor yang mempunyai hak jaminan kebendaan, diantaranya: pemegang hak tanggungan, pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, pemegang hak hipotik, dan lain-lain
b. Kreditor preferent, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.
c. Kreditor konkuren atau disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak mempunyai hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium.
Pernyataan pailit seorang Debitor tidak terlalu penting bagi Kreditor “separatis” yakni kreditur yang penagihan piutangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan karena dianggap berdiri sendiri. Demikianpun  Kreditor preferent yaitu kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan.
Oleh karena mereka dapat mengeksekusi benda jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Hal demikian berbeda dengan kurator yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan diantara mereka terjadi perebutan harta Debitor. Oleh karena itu , salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak Kreditor bersaing atau Kreditor konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan.
Pendapat Man S. Sastrawidjaja tersebut didasarkan pada prinsip hukum jaminan, berdasarkan prinsip hukum jaminan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak gadai, hak tanggungan, pemegang jaminan fidusia, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU, yang berbunyi:
”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Berdasar pada isi pasal tersebut, maka meski terjadi kepailitan pemegang hak jaminan kebendaan tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.    Jadi terjadi atau tidak kepailitan tidak menghalangi hak pemegang hak jaminan kebendaan untuk mengeksekusi haknya.   Namun UUKPKPU tidak konsisten, karena dalam Pasal 56 ayat (1) dikatakan  bahwa:
”Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.
Dari ketentuan tersebut, Nampak bahwa kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 (UUPKPU) tidak konsisten dalam mengatur kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.



BAB  III
P E N U T U P


A.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, jelas bahwa UU No. 37 tahun 2004 (UUPKPU)  terutama ketentuan Pasal 56 ayat (1) telah melanggar prinsip umum hukum jaminan dimana kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung melaksanakan eksekusi apabila terjadi kepailitan.

B.   Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, menurut penulis seharusnya UU No. 37 tahun 2004 (UUPKPU) mengatur kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip hukum jaminan. Jadi pemegang hak jaminan kebendaan dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

HUKUM AGRARIA PERAIRAN

,
By : Alif Sayyidul Qadr, SH. MH.

Latar Belakang
Di masa tampuk Pemerintahan Indonesia masih dikuasai  Orde Baru (1966-1998), agenda reforma agraria ditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnya sebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu, partisipasi rakyat dipinggirkan. Tak ada akses untuk sekadar memperpanjang nafas hidup. Singkatnya, rakyat dipaksa mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ironisnya, paksaan ini menempatkan rakyat harus berhadapan dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal yang menghalalkan pelbagai cara untuk merengkuh tujuannya.
Pada pembuka tahun 2007, tersiar dua kabar penting menyangkut kebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan dicetuskannya rencana pelaksanaan reforma agraria pada pidato awal tahun 2007 oleh Presiden RI.
Tak pelak, dua kabar gembira ini memberi angin segar bagi perwujudan cita-cita bangsa, yakni mengejawantahkan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan berkeadaban. Bagi rakyat, tanah dan sumberdaya alam lainnya merupakan faktor kehidupan yang teramat penting. Tak hanya sebagai ruang produksi, tanah dan sumberdaya alam lainnya juga mengandung makna politik, sosial, budaya, dan religius. Dalam ruang itulah, mereka menambatkan cita-cita kehidupannya dan sebisa mungkin memberi sumbangsih bagi kemajuan negeri.

Tulisan ini hendak memotret relevansi reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan, memberi catatan kritis atas kesalahan rezim di masa lampau dan masa kini terkait agenda reforma agraria, dan usulan solusi yang bisa diacu sebagai panduan pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan.

Relevansi reforma agrarian
Pelaksanaan reforma agraria merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang telah lama dikumandangkan sejak awal pendirian bangsa. Sebagaimana diamanahkan oleh Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960:
"Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu. Jangan mengira 'land-reform' yang kita hendak laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan".
Apa yang disampaikan oleh Soekarno merupakan perpanjangan dari ide dasar pelaksanaan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria. Perwujudan keadilan agraria ini ditopang oleh 3 (tiga) prinsip pokok, yakni  :
1.      Hak rakyat untuk berkembang dan menentukan arah perkembangannya;
2.      Hukum agraria bersifat kerakyatan dan memihak kaum marginal; dan
3.      Hukum agraria menganut asas kebangsaan dengan menghormati keragaman budaya yang termuat dalam hukum-hukum adat. Ketiga prinsip inilah yang menjadi pedoman relevansi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
Selanjutnya, Deklarasi Djoeanda 1957 tegas menyebutkan bahwa "pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau". Pun dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa "sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Potret krisis kelautan
Diterbitkannya UU No. 27 Tahun 2007 oleh DPR RI ini tak hanya bertolak-belakang dengan rencana pelaksanaan reforma agraria, tetapi juga mengulang kesalahan fatal rezim Orde Baru. Bentuk kesalahan itu adalah pemberian izin kepada pemodal untuk mengeruk-habis sumberdaya laut dan pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dengan meminggirkan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, kesalahan fatal dalam kebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria terpola dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1)  Kebijakan sarat eksploitasi dan
(2)  Kebijakan bersifat sektoral dalam penguasaan, penggunaan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya guna mengejar efisiensi ekonomi;
(3)  Kerap memakai pendekatan top-down dan sentralistik;
(4)  Sarat konflik kepentingan antara institusi dan pemodal;
(5)  Prinsip diskriminasi lebih mengedepan; dan
(6)  Menyulut aparatur negara berlaku represif dan melanggar HAM.
Pelanggaran HAM terkait reforma agraria tak hanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, melainkan juga telah menyub-ordinasi manusia (baca: rakyat) tak lebih sebagai obyek pembangunan. Proses dehumanisasi ini berkait-kelindan dengan minusnya visi pembangunan bangsa Indonesia yang berjangkar pada kodratnya, yakni negeri kepulauan. Alhasil, orientasi pembangunannya berjalan melambat dan amburadul.
Masyhur sebagai negeri kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8 juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2, dan memiliki 17.508 pulau besar dan kecil, serta panjang pantai seluas 81.000 km2, Indonesia dihadapkan pada tiadanya visi kelautan yang menjadi rujukan pokok pembangunan. Terlebih, pembangunan yang berlangsung hingga detik ini terlampau berwatak daratan (land-based).
Dari deskripsi di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan tak bisa dilepaskan dari tiga aspek pokok pembangunan.
Pertama, Aspek politik. Dalam lanskap politik, hak konstitusi yang mesti diberikan adalah perluasan partisipasi aktif masyarakat dalam merumuskan kebijakan di tingkat lokal, khususnya menyangkut rencana pelaksanaan reforma agraria. Dengan perkataan lain, kebijakan yang dilahirkan bukan didasarkan pada semangat sentralistik, melainkan desentralistik.
Kedua,  Aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diberikan hak untuk mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan dasar dan kearifan lokal yang mereka hayati, bukan dikte pemerintah pusat.

Dengan demikian, rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhitungkan keberadaan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek pembangunan, bukan malah meniadakan hak-hak konstitusi mendasar yang semestinya harus dipenuhi oleh negara (baca: pemerintah), seperti tecermin pada substansi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta PerMen No.. 06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.

Penutup
Dengan memperhatikan karakteristik negara kepulauan, reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat visi pembangunan yang sekadar memandang laut sebagai "lahan buangan," bukan sebagai ruang hidup dan ruang juang segenap anak bangsa.
Tumpulnya visi pembangunan kelautan berdampak pada: (a) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya; (b) penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kian jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan budaya bangsa Indonesia; serta (d) kerusakan lingkungan hidup dan hancurnya sumber-sumber daya alam lainnya.
Tak ayal, pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhatikan karakteristik wilayah dan pelbagai dimensi kehidupan yang mengitari keseharian nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia.
Terlebih konsepsi sebagai negeri kepulauan telah mengakar dan bersifat final. Salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahari yang melekat pada jati diri dan sistem sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia. Di pelbagai kepustakaan, kita mengenal ponggawa laut1 (Sulawesi Selatan), bapongka2 (Sulawesi Tengah), dan sasi3 (Maluku Tengah) sebagai bentuk-bentuk kearifan tradisional yang arif terhadap sumber daya laut dan perikanan nasional. Pun terhadap keberlanjutan ekologis. Pada konteks ini, ada keterkaitan relasi sosio-ekologis antara manusia dan sumber daya laut dan perikanan.
Akhirnya, dukungan Indonesia atas United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tanggal 13 September 2007 lalu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia, termasuk di dalamnya nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mengacu pada sumber historis ini, selaiknya rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan mengikutsertakan kearifan tradisional yang telah berurat-akar dan menyatu dalam jati diri Keindonesiaan kita.

Organisasi Perdagangan Dunia

,
Organisasi Perdagangan Dunia
World Trade Organization (WTO)
Oleh :Dimel Al Afizah.



A.    Pengertian Umum
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara       World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia adalah sebuah pintu gerbang bagi suatu negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.



B.  Sejarah pembentukan
 World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, namun demikian sistem perdagangan itu sendiri telah ada sejak dahulu,  Pada tahun tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
 Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi  Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
 Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

C.  Masa-masa perundingan
Pada tahun-tahun awal, Masa Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff.  Pada Masa Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Pada Masa Kepemimpinan  Tokyo (1973-1979), ia meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Masa Kepemimpinan Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.

Selanjutnya adalah Masa Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Masa kepemimpinan Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada masa tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Masa  Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

 D.   Persetujuan-persetujuan WTO 
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. 
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
1.      Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
2.      Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
3.      Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs)
4.      Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:
·        Pertanian
·        Sanitary and Phytosanitary/ SPS
·        Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
·        Standar Produk
·        Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
·        Tindakan anti-dumping
·        Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods)
·        Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection)
·        Ketentuan asal barang (Rules of Origin)
·        Lisensi Impor (Imports Licencing)
·        Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures)
·        Tindakan Pengamanan (safeguards)
Untuk jasa (dalam Annex GATS):
·        Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons)
·        Transportasi udara (air transport)
·        Jasa keuangan (financial services)
·        Perkapalan (shipping)
·        Telekomunikasi (telecommunication)

 E.   Prinsip-prinsip Sistem Perdagangan Multilateral
a.   MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara
anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
b.    Perlakuan Nasional (National Treatment)
Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
c.    Transparansi (Transparency)
Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

F.  Persetujuan Bidang Pertanian  
Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk  melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif.
 Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.
 Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.) Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk olahannya tidak tercakup dalam definisi produk pertanian tersebut.
 Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, para anggota WTO berkomitmen untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang mendistorsi perdagangan melalui skedul komitmen masing-masing negara. Komitmen tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari GATT.
 1. Akses Pasar
Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan perubahan sistemik yang sangat signifikan: perubahan dari situasi dimana sebelumnya ketentuan-ketentuan non-tarif yang menghambat arus perdagangan produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya. Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui: (i) akses pasar produk pertanian yang transparan, prediktabel dan kompetitif, (ii) peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan (iii) penekanan pada mekanisme pasar yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas.
Umumnya tarif merupakan satu-satunya  bentuk proteksi produk pertanian sebelum   Putaran Uruguay. Pada Putaran Uruguay, yang disepakati adalah ”diikatnya” tarif pada tingkat maksimum. Namun bagi sejumlah produk tertentu, pembatasan akses pasar juga melibatkan hambatan-hambatan non-tarif. Putaran Uruguay bertujuan untuk menghapuskan hambatan-hambatan tersebut. Untuk itu disepakati suatu paket ”tarifikasi” yang diantaranya mengganti kebijakan-kebijakan non-tarif produk pertanian menjadi kebijakan tarif yang memberikan tingkat proteksi yang sama.
 Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan pengurangan minimum 15% untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum 10% untuk setiap produk. Negara terbelakang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif. 
2. Subsidi Domestik
Subsidi domestik dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah subsidi domestik yang tidak terpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan (sering disebut sebagai Green Box) sehingga tidak perlu dikurangi. Kategori kedua adalah subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan (sering disebut sebagai Amber Box) sehingga harus dikurangi sesuai komitmen.
 Subsidi Domestik dalam sektor Pertanian:
1.       Amber Box, adalah semua subsidi domestik yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan;
2.       Blue Box, adalah amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi. Subsidi yang biasanya dikategorikan sebagai Amber Box akan dimasukkan ke dalam Blue Box jika subsidi tersebut juga menuntut dikuranginya produksi oleh para petani; dan
3.       Green Box, adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga.
 Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam Green Box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis.
 3. Subsidi Ekspor
Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini dibatasi pada: (i) subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tersebut; (ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume ekspor yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan ”fleksibilitas hilir” (downstream flexibility); (iii) subsidi ekspor yang sesuai dengan ketentuan S&D bagi negara-negara berkembang; dan (iv) Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan anti-circumvention. Segala jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas adalah dilarang.

 F. Putaran Doha
 1. Deklarasi Doha
Sejak terbentuknya WTO awal tahun 1995 telah diselenggarakan lima kali Konperensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003. 
KTM ke-4 (9-14 Nopember 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. Menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO.
Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi tercapainya konsensus mengenai Singapore Issues yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan kompetisi (competition policy), transparansi dalam  pengadaan pemerintah (goverment procurement), dan fasilitasi perdagangan. Namun perundingan mengenai isu-isu tersebut ditunda hingga selesainya KTM V WTO pada tahun 2003, jika terdapat konsensus yang jelas (explicit concensus) dimana para anggota menyetujui dilakukannya perundingan. Deklarasi juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, negara-negara kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, hutang dan alih teknologi.
Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan-badan dibawahnya (subsidiaries body). Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan Commitee yang ada di WTO.
 2. Doha Development Agenda
Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan ”Agenda Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang paling terbelakang (Least developed countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi negara-negara terbelakang, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke dalam WTO.
 Mengenai perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Perlakuan khusus dan berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkrit mengenai isu tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional.
 3. Isu-isu yang disetujui untuk dirundingkan lebih lanjut
Deklarasi Doha mencanangkan segera dimulainya perundingan lebih lanjut mengenai beberapa bidang spesifik, antara lain di bidang pertanian. Perundingan di bidang pertanian telah dimulai sejak bulan sejak bulan Maret 2000. Sudah 126 anggota (85% dari 148 anggota) telah menyampaikan 45 proposal dan 4 dokumen teknis mengenai bagaimana perundingan seharusnya dijalankan. Salah satu keberhasilan besar negara-negara berkembang dan negara eksportir produk pertanian adalah dimuatnya mandat mengenai ”pengurangan, dengan kemungkinan penghapusan, sebagai bentuk subsidi ekspor”.
 Mandat lain yang sama pentingnya adalah kemajuan dalam hal akses pasar, pengurangan substansial dalam hal program dukungan/subsidi domestik yang mengganggu perdagangan (trade-distorting domestic suport programs), serta memperbaiki perlakukan khusus dan berbeda di bidang pertanian bagi negara-negara berkembang.
Paragraf 13 dari Deklarasi KTM Doha juga menekankan mengenai kesepakatan agar perlakuan khusus dan berbeda untuk negara berkembang akan menjadi bagian integral dari perundingan di bidang pertanian. Dicatat pula pentingnya memperhatikan kebutuhan negara berkembang termasuk pentingnya ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan.

H. Konperensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancun, Meksiko
Konperensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO berlangsung di Cancun, Meksiko tanggal 10-14 September 2003. Berbeda dengan KTM IV di Doha, KTM V di Cancun kali ini tidak mengeluarkan Deklarasi yang rinci dan substantif, karena gagal menyepakati secara konsensus, terutama terhadap draft teks pertanian, akses pasar produk non pertanian (MANAP) dan Singapore issues.
Perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE, proposal Group 20 (yang menentang proposal gabungan AS-UE) dan proposal Group 33 (yang memperjuangkan konsep special product dan special safeguard mechanism).
 Secara singkat, joint paper AS-UE antara lain memuat proposal yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup signifikan di negara berkembang, tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan subsidi dan tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tinggi (tariff peak) di negara maju.
 Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha.
 Sementara itu, kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33 (group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang.


 I.  Kesepakatan Juli 2004
 Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang Program Kerja Doha, yang juga sering disebut sebagai Paket Juli. Pada kesempatan tersebut berhasil disepakati kerangka (framework) perundingan lebih lanjut untuk DDA (Doha Development Agenda) bagi lima isu utama yaitu perundingan pertanian, akses pasar produk non-pertanian (NAMA), isu-isu pembangunan dan impelementasi, jasa, serta Trade Facilitation dan penanganan Singapore issues lainnya.
 Keputusan Dewan Umum WTO melampirkan Annex A sebagai framework perundingan lebih lanjut untuk isu pertanian. Keputusan untuk ketiga pilar perundingan sektor pertanian (subsidi domestik, akses pasar dan subsidi ekspor) adalah:
 Subsidi domestik
a.  Negara maju harus memotong 20% dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian pertanian.
b.  Pemberian subsidi untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi pertanian pada tahun pertama implementasi.
c.  Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam kategori de minimis asalkan subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin.

Subsidi ekspor
a.   Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari.
b.   Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang, yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan ketentuan premi minimum.
c.   Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibandingkan dengan negara maju.
d.   Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjamin stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak harus dihapuskan.
e.   Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju.
f.   Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara berkembang diperkuat.

Akses Pasar
a.  Untuk alasan penyeragaman dan karena pertimbangan perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif akan menggunakan tiered formula.
b.  Penurunan tarif akan dilakukan terhadap bound rate.
c.   Paragraf mengenai special products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi menjamin jumlah produk yang dapat dikategorikan sebagai sensitive product. Negara berkembang dapat menentukan jumlah produk yang dikategorikan sebagai special products berdasarkan kriteria food security, livelihood security, dan rural development.


DAFTAR  BACAAN 
1.               Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral
2.               Ekubang, Deplu. 2004. Persetujuan Bidang Pertanian, Terjemahan.
3.               Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral
4.               Ekubang, Deplu. 2003. Sekilas WTO. World Trade Organization
5.               WTO. 2002. The Legal Text, The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations
6.               WTO. 2003. Understanding the WTO. World Trade Organization