TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN
DALAM PERKARA KEPAILITAN
Disusun Oleh:
ALIF SAYYIDUL QADR
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT. Atas segala petunjuk dan Hidayahnya sehingga penyusunan Tugas Makalah Hukum Jaminan sebagai pengganti Ujian tertulis dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya Perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada, semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga makalah ini dapat selesai.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan sumbangsi Ilmu Pengetahuan kepada masyarakat awam, juga diharapkan dapat bernilai ibadah disisi Allah SWT dan bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan peran dalam kemajuan pendidikan di Indonesia pada umumnya .
Amin Ya Rabbal Alamin……
Billahi Fii Sabilil Haq Fastabiqul Khaerat !!!
Sinjai, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 2
B. Permasalahan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
BAB III PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA iv
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, “Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Lontoh, Rudhy A. (ed.), “Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Alumni, Bandung. 2001
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, “Hak Tanggungan”, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni,2006
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Yogyakarta, 2002, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit,
Varia Peradilan: Tahun II No.19, April 1987
Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta 1994
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran,: Pradnya, Jakarta 1992
Sudarsono, Kamus Hukum Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta 2002.
Sudargo Gautama, Komenta r atas Peraturan Kepailtan Baru untuk Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung: 1998
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan kebendaan antara debitor dan kreditor dengan tujuan menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang debitor kepada kreditor, betapa tidak adilnya seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut? Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi.
Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan tersebut? Bila tidak ada cara untuk mempertemukan kepentingan masing-masing, maka dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar Kepailitan pada dasarnya merupakan perkara perdata, lebih tepatnya perkara utang-piutang. Penyelesaiannya pun bisa dilakukan berbagai cara, baik mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga atau diselesaikan di luar pengadilan (alternative dispute resolution), tergantung pilihan dari pihak Kreditor yang merasa haknya dilanggar.
Perkara kepailitan mempunyai beberapa kekhususan dibanding dengan perkara perdata biasa. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat dari syarat pengajuannya, pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutusnya, dan jangka waktu penyelesaian perkara tersebut yang berbeda dengan perkara perdata pada umumnya.
Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah si Debitor harus mempunyai dua atau lebih Kreditor, yang mana salah satu utangnya telah jatuh tempo. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang.
Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian., yaitu pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja dan pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara kepailitan bersumber pada masalah utang-piutang. Menurut Sutan Remy Sjahdeni pengertian utang terdapat 2 (dua) pendirian., yaitu :
1). Pendirian yang menganut utang dalam arti sempit yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja.
2). Pendirian yang menganut utang dalam arti luas yang timbul karena perikatan apapun juga, baik yang timbul karena perjanjian utang-piutang maupun perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara kepailitan akan berkaitan juga dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa jaminan yang bersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata ataupun yang bersifat khusus, seperti Hak Gadai, Hak Jaminan dan Fidusia. Menurut prinsip hukum jaminan, kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak terpengaruh oleh kepailitan. Hal tersebut berarti Kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Mencermati materi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disingkat UUKPKPU) merupakan “lex specialis” (ketentuan yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan), maka penulis tertarik untuk menelaah aspek yuridisnya dengan mengambil tema : “ tinjauan yuridis undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan “
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menarik Pokok permasalahan yang akan dijadikan objek permasalahan dalam makalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Bagaimana Aspek Yuridis kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 tahun 2004 ?
2. ApakahKedudukan kreditur tersebut sama seperti dalam perkara perdata biasa dimana kreditor tersebut dapat mengeksekusinya tanpa terpengaruh dengan proses kepailitan?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum melangkah lebih jauh maka ada baiknya kita mengenal apa itu penjamin serta apa pula pengertian dari pailit :
Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Pengertian penjamin menurut Rasjin Wiraatmadja seorang advokat senior mengatakan bahwa:
Penjamin adalah para pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitur.
Penjamin adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh debitur. Penjamin berkewajiban untuk membayar utang debitur kepada kreditur manakala sidebitur lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi debitur atau berkewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan harta benda milik debitur utama atau debitur utama yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun.
Pengertian Pailit dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
dalam Pasal 1 angka (1) adalah:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih krediturnya.”
Pengertian Kepailitan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang, dalam Pasal 1 angka (1) yakni :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukann oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kepailitan adalah keadaan atau kondisi badan Hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.
Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari
beberapa sarjana antara lain:
1. Retnowulan menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah eksekusi massal yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.”
2. Siti Soematri Hartono dalam bukunya “Pengantar Hukum Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa Kepailitan adalah
suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua asas
pokok dalam Hukum Perdata yang tercantumkan dalam Pasal 1131 dan
1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”
3. Kartono mengemukakan, “Kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan semua debitur-debiturnya bersama-sama, yang pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu.”
4. Sudarsono dalam kamus Hukum mengatakan istilah pailit, yaitu suatu keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Kepailitan.
Lebih lanjut Sudargo mengatakan bahwa: “Kepailitan pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda daripada sipailit”
Setiap Kreditor pasti mempunyai jaminan jaminan pelunasan utang dari debitor baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Apabila Kreditor tidak meminta jaminan secara khusus ketika melakukan perjanjian utang-piutang dengan Debitor, maka berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata secara otomatis kreditor mempunyai jaminan umum pembayaran utang dari harta benda milik debitor.
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata dikatakan:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa harta debitor yang ada dan yang akan ada dikemudian hari, baik harta bergerak maupun tidak bergerak akan menjadi jaminan pembayaran utang bagi kreditor meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.
Menurut Prof. Man S. Sastrawidjaja ketentuan tersebut didasarkan kepada asas tanggung jawab, yang mana asas tersebut diperlukan dalam upaya memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan kreditornya.
Berbeda dengan jaminan yang bersifat khusus, pihak kreditor sejak semula telah meminta kepada debitor agar hartanya secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo debitor tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta debitor tersebut dapat dieksekusi oleh kreditor melalui prosedur tertentu.
Dalam perkara kepailitan terdapat tiga tingkatan kreditor, yaitu:
a. Kreditor separatis, , yaitu Kreditor yang mempunyai hak jaminan kebendaan, diantaranya: pemegang hak tanggungan, pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, pemegang hak hipotik, dan lain-lain
b. Kreditor preferent, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.
c. Kreditor konkuren atau disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak mempunyai hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium.
Pernyataan pailit seorang Debitor tidak terlalu penting bagi Kreditor “separatis” yakni kreditur yang penagihan piutangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan karena dianggap berdiri sendiri. Demikianpun Kreditor preferent yaitu kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan.
Oleh karena mereka dapat mengeksekusi benda jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Hal demikian berbeda dengan kurator yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan diantara mereka terjadi perebutan harta Debitor. Oleh karena itu , salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak Kreditor bersaing atau Kreditor konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan.
Pendapat Man S. Sastrawidjaja tersebut didasarkan pada prinsip hukum jaminan, berdasarkan prinsip hukum jaminan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak gadai, hak tanggungan, pemegang jaminan fidusia, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU, yang berbunyi:
”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Berdasar pada isi pasal tersebut, maka meski terjadi kepailitan pemegang hak jaminan kebendaan tetap dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Jadi terjadi atau tidak kepailitan tidak menghalangi hak pemegang hak jaminan kebendaan untuk mengeksekusi haknya. Namun UUKPKPU tidak konsisten, karena dalam Pasal 56 ayat (1) dikatakan bahwa:
”Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.
Dari ketentuan tersebut, Nampak bahwa kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 (UUPKPU) tidak konsisten dalam mengatur kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, jelas bahwa UU No. 37 tahun 2004 (UUPKPU) terutama ketentuan Pasal 56 ayat (1) telah melanggar prinsip umum hukum jaminan dimana kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung melaksanakan eksekusi apabila terjadi kepailitan.
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, menurut penulis seharusnya UU No. 37 tahun 2004 (UUPKPU) mengatur kedudukan Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip hukum jaminan. Jadi pemegang hak jaminan kebendaan dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.